Rabu, 16 Maret 2011

Kaleidoskop Pemandangan, Kuil dan Budaya di Nepal

Kathmandu, Ibu Kota Nepal, adalah kaleidoskop agama, kebangsaan, dan keajaiban arsitektural -- dan semuanya dalam jangkauan 30 menit naik pesawat dari pegunungan paling menakjubkan yang pernah saya lihat, Himalaya.

Kami tiba di Kathmandu dari Abu Dhabi setelah empat jam penerbangan yang nyaman menggunakan Etihad Airlines, langsung disambut dengan prosedur kedatangan yang repot. Di sana, foto visa saya bisa terbang dari tangan petugas imigrasi, keluar jendela terminal sampai landasan pesawat, tapi untungnya langsung ditangkap oleh petugas darat Etihad. Setelah melewati bea cukai, kami menunggu 20 menit sampai agen perjalanan tiba. Seperti kemudian kami ketahui, Kathmandu bukanlah kota bagi mereka yang lemah hati, atau mencari kemewahan kelas bintang lima.

Tetapi setelah kesulitan-kesulitan kecil ini, kami sampai di hotel Yak and Yeti, salah satu akomodasi Kathmandu yang cukup tinggi kelasnya, masuk ke kamar yang nyaman dengan pemandangan taman dan kolam renang (satu penuh air, satunya kosong) dan menemukan bar di dekat pusat kota untuk merayakan ketibaan kami di Nepal. Selanjutnya, kami makan kari di sebuah restoran India di mana kami dihibur oleh dua penyanyi Nepal yang menggairahkan.
Keesokannya, kami baru memulai tur berkeliling kota. Agen perjalanan kami menjemput -- kami pikir dia terlambat lagi, tapi ternyata waktu di Nepal itu anehnya 15 menit lebih lambat dari kebanyakan zona waktu -- dan langsung kami dibawa ke berbagai tempat luar biasa. Kuil Bodnath, dibangun dengan gaya arsitektur yang mirip dengan negara tetangga Tibet, dari atapnya Anda bisa melihat pemandangan indah serta warna-warni komunitas di sekitarnya. Selanjutnya kami berhenti agak lama di situs keagamaan Hindu, Pashupathinath, tempat peristirahatan terakhir bagi mereka yang berpulang. Pemandu Nepal kami memberi penjelasan tentang ritual pemakaman. Dia membawa saya sangat dekat ke tempat berapi yang sangat panas, tempat kaki-kaki manusia yang belum terbakar dan tengkorak yang masih bisa terlihat bentuknya. Abu jenazah itu kemudian ditabur di sungai berarus lambat yang dianggap suci.

Setelah tempat berbau kematian itu, kami siap untuk makan siang ringan berupa kentang goreng dan sambal di sebuah kafe dengan pemandangan indah dekat Patan, penuh dengan kuil dan istana yang dibangun pada abad ke-18. Kami berjalan menuju alun-alun yang sibuk itu seusai makan siang, mampir dan berhenti di beberapa kuil sebelum kembali ke Kathmandu. Setibanya di sana, kami berjalan kaki selama satu jam menikmati Durbar Square, tempat kami melihat lebih banyak kuil, dan mengakhiri hari di perbukitan sambil melihat kota dari kejauhan -- dan ya, mengunjungi kuil lain sambil melihat monyet berenang di kolam dekat situ.

Setelah mengelilingi Kathmandu yang eksotis dan berdebu, keesokannya kami pergi ke Himalaya. Kami meninggalkan Kathmandu dengan sedikit ketakutan menghadapi trek selama tiga hari ke Annapurna, dan setelah penerbangan 30 menit menaiki Yeti Airlines, kami tiba di Pokhara, kaki gunung Himalaya. Di sana pemandu kuil merangkap pemimpin trek, Rottna, bersama porter yang terus tersenyum, menyambut kami. Porter kami terus tersenyum mungkin karena kami benar-benar membawa jumlah baju minimum yang diperlukan untuk trekking. Dia hanya harus membawa 10 kg barang dibanding barang-barang yang harus dibawa porter lain, dibantu beberapa keledai, yang bisa sampai tiga kali lipat bawaan kami.

Hari pertama kami trekking, kami melewati lembah cantik di sepanjang pinggiran sungai dan --yang membuat kami terkejut-- melewati banyak desa kecil. Kami menjumpai petani, anak-anak sekolah dan orang tua menuju akomodasi malam pertama kami di desa kecil Tikedungha. Di sana kami menikmati makan malam dengan sajian nasi dan ayam, dilanjutkan dengan anggur lokal yang bisa membuat mata berair, bersama dengan beberapa pejalan dari Eropa dan Amerika, serta para pemandu dan pengangkut barang. Akomodasi kami semalam seharga $5, maka tak mengejutkan jika fasilitas kamar mandi yang kami dapatkan cukup sederhana. Setidaknya air mandinya hangat, meski kami tidak pernah terbiasa dengan toilet jongkok.  

Keesokannya, kami berangkat lagi pukul 8 pagi. Alasannya adalah kami harus mendaki 3000 anak tangga di sisi gunung. Setelah itu, jalur yang kami lewati sedikit mendatar dan kami melewati lebih banyak hutan dan desa-desa. Setelah berjalan selama 5 jam dan berhenti beberapa kali, kami tiba di Ghorapani, perhentian kami sore itu, setelah melewati badai kencang. Meski begitu, pemandu kami berkeras bahwa badai ini adalah pertanda akan ada cuaca cerah keesokan harinya. Tempat kami tinggal memang sederhana, tapi menjadi hidup karena steak daging yak dan minuman keras lokal. Kami tidur cepat malam itu, berharap agar kami bisa melihat matahari terbit esok jam 5 pagi setelah cuaca berawan sepanjang siang.

Saat ini, kami sudah mencapai ketinggian 10 ribu kaki dan keesokan paginya, kami melihat sebuah peringatan risiko berada di ketinggian saat melewati semacam monumen buat pengunjung asal Australia yang tiba-tiba meninggal tanpa tanda-tanda. Kami mendaki selama sejam sebelum fajar dan disambut oleh cuaca yang dingin dan langit cerah di puncak Bukit Poon, luar biasa pemandangan delapan puncak Himalaya.
Pemandu kami benar, badai semalam sebelumnya berubah jadi langit cerah pagi harinya.

Lalu kami kembali ke penginapan untuk sarapan telur dan bacon sebelum berjalan kembali selama 8 jam ke titik berangkat kami. Gradien yang curam serasa makin tajam saat berjalan turun, kami pun merasakan pergerakan otot-otot yang selama ini tidak kami kira ada. Akhirnya, setelah satu jam menaiki taksi yang membikin merinding dan sangat reot -- dan merasa sangat bangga dengan kemampuan trekking kami -- kami tiba di Fish Tail Lodge di Pokhara. Esok harinya kami menghabiskan pagi melihat pemandangan menakjubkan dari hotel dan berjalan-jalan ke toko baju dan buku sebelum menaiki penerbangan siang menggunakan Yeti Airlines kembali ke Kathmandu untuk menghabiskan semalam lagi di sana.

Malam itu, kami bertemu dengan seorang kawan lama asal Sydney di sebuah restoran India vegetarian yang tenang dan menyajikan makanan enak. Dia sudah pensiun dari Konsulat Inggris dan menghabiskan tiga tahun di Nepal mempelajari bahasa dan menyerap budaya lokal.

Pada hari terakhir itu, kami melihat lebih banyak lagi percampuran budaya di jalan-jalan kecil dan gang yang menakjubkan di kota Bhaktapur, dengan kuil-kuil abad 18 yang terjaga kondisinya dan satu lagi kafe di atap untuk menikmati suasananya. Setelah kembali ke Kathmandu untuk lebih banyak lagi jalanan sibuk yang masih diperbaiki dan sedikit kue dan teh di ruang duduk hotel yang beradab, tibalah waktunya untuk pergi ke bandara dan berpamitan pada teman, agen perjalanan dan Kathmandu.


Enam malam adalah perjalanan yang terlalu singkat, tapi cukup untuk memberi rasa menakjubkan budaya dan pemandangan Nepal. Kami sempat membeli pakaian trekking yang lebih baik, berguna untuk di Filipina atau di Eropa, kami cukup yakin untuk kembali dan merasakan trek yang lebih lama (lima atau enam hari) demi melihat sekilas gunung tertinggi dunia, Everest. Kami cukup realistis untuk mengetahui kami tidak akan sampai ke Base Camp, tapi cukup yakin untuk bisa menjalani trek yang lebih lama di salah satu
jalur dengan pemandangan terindah di dunia.  
Jangan Lupa Join dan Like Disini Ya..!!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Coment Disini

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code